Wednesday, February 28, 2007

Aku Sungguh Takut

Aku selalu takut
Tatkala dua smsku terkirim tanpa balasan darimu,
Ada apa gerangan?

Aku selalu takut
Tatkala malam ini kau tempuh perjalanan,
menunggu besok pagi kau telpon aku dan berkata
"Aku sudah sampai, sayang".

Aku selalu takut
Ketika kutelpon engkau dan nafasmu memburu terengah-engah,
sedang apa gerangan engkau di situ?
Kau hanya menjawab
"Telponku di atas, aku berlari secepat kilat menaiki tangga"
Aku hanya bisa percaya.

Aku selalu takut
Tatkala kau kembali puitis,
sosok yang hampir tak pernah lagi kau perankan semenjak kita menikah
Kau hanya menjawab
"Aku bergabung di kemudian.com dan mendapatkan kembali romantisme itu"
Aku hanya bisa percaya.

Tapi mengapa kini aku juga takut,
tatkala kita putuskan aku akan menyusulmu segera ke sana.
Meninggalkan dunia kerja dan berstatus Ibu rumah tangga.
Walau kau berjanji akan ikut mencari pekerjaan yang lain untukku di sana, aku tetap takut.

Oh suamiku, Aku ingin kau mengerti hal ini.
Bahwa Aku sungguh-sungguh takut.

~O) Secangkir Kopi

Ada perasaan yang entah mengapa tak dapat aku elakkan. Tatkala satu sendok kopi aku letakkan di dalam gelas berwarna merah ini, lalu kucampurkan 2 sendok gula ke dalamnya.
Kutuang air panas dan kuaduk hingga tuntas. Hitam pekat tersenyum dan wajahmu pun menyeruak membayang ke dalam pantulannya berkelebat.

Hanya karena obrolan kita malam itu. Berkenalan berperantarakan cpu. Never feel so addicted with this taste of coffee, but you make this so much more than tasty.

Kopi kini sudah lebih bermakna. Sebagai arti persahabatan denganmu.

4 hari dalam sebulan

"Sayang... 4 hari dalam sebulan mungkin bukanlah sesatu yang sempurna yang dapat kuberikan. Aku sadari itu."
Dia tersenyum, selalu seperti itu setiap kumulai mengajaknya bercerita. Tak pernah membalas lewat kata-kata, hanya pandangan yang juga sebenarnya belum mempunyai makna. Mungkin bermakna, tapi ntah apa.

"Sayang, 4 hari dalam sebulan mungkin sama sekali tak cukup untukmu melepas rindu."
Kini dia tertawa lepas, seolah berkata "Hahaha... kau juga pasti tak merasa itu semua cukup, bukan?... hahaha" Tertawanya yang lepas seperti itu selalu membuatku kagum. Hidupnya yang tanpa beban, dapat melepaskan kepenatanku dalam sejenak.

Aku tersenyum seraya mengamini. "Benar sayang, memang sungguh rindu yang menyesakkan dada yang kurasa sungguh."
Kita berdua terdiam kini. Memandang kita satu sama lain. Aku tau kau mengerti, Akupun sadar atas apa yang kurasakan padamu.

..... "oh Sayang......
Rinduku padamu berjuta langit
Bayangmu dalam khayalku berjuta bintang
Senyummu dalam gerakku berjuta indah
Hangatmu bagiku berjuta cinta....
oh Sayang..."

Kucium keningnya, pipinya, hidungnya. Oh betapa kucintai mahluk kecil ini.

Tangan kecilnya mencoba menggapai wajahku, kudekatkan wajahku agar dapat disentuhnya.
dan...
Hari itu, 4 bulan 15 hari... pertama kalinya ia berbincang denganku dengan amat jelas..
"Papa...
"Papa...
"Papa..."

Segala kelelahanku Punah sudah. Hampir tak bersisa.

(teruntuk : 4nya ilmi Kauliyah)

Beri 4ku waktu

(+) Maaf anakku
(-) Tidak apa-apa, Ayahku

(+) Kau mengerti, kan..??
(-) Sangat mengerti, Ayah...

(+) Terlalu sulit untuk Ayah dan Ibumu..
(+) Kau mengerti, kan?
(-) Sangat mengerti oh Ayahku..

(+)Bayangkan jika Ayahmu ini dirajam dengan hinaan, Kemudian perlahan-lahan dikuliti dengan pandangan tajam, dan akhirnya dibunuh dengan pisau makian. Bisakah kau pahami betapa menderitanya hidup seperti itu?
(-).....(mengangguk).....

(+)Kaupun akan ikut menderita, Anakku. Saat kau tumbuh dan teman-2mu tau. Kau akan dirajam dengan hinaan. Kau akan dibunuh dengan makian. Percayalah dengan Ayahmu...
(-) .....(mengangguk).....

(+) Apakah kau siap, Anakku?
(-) Tidak pernah sesiap ini, Ayah.

(+) Apakah ada hal terakhir yang ingin kau sampaikan?
(-) Ada.....

(+) Apakah itu, Anakku?
(-) Aku mengerti kesulitan ini, Ayah. Tapi yang aku tidak mengerti mengapa kau lakukan sesuatu yang tak bisa kau pertanggung-jawabkan.
(-) Aku paham akan derita ini, Ayah. Tapi aku tidak paham lebih pentingkah arti kematian daripada makna kehidupan..???
(-) Aku percaya aku akan ikut menderita, Ayah. Tapi aku sungguh tak percaya bahwa aku tak sanggup menahan derita itu nantinya.
(-) Aku siap, Ayah. Sungguh-sungguh siap. Namun aku lebih siap untuk mempelajari nama-nama, lebih siap untuk memahami makna kebersamaan, dan kemudian ikut berjuang....

(-) Sekarang kutanya padamu, Apakah kau percaya padaku..???
(+) .... (meragu) ....

(-) Atau harus kutanya apakah kau percaya pada dirimu sendiri..???
(+) .... (tetap meragu) ....

(-) .. (putus asa) .. Apakah kau percaya pada Cinta kasih, Ayah... (melemah) ...
(+) .... (mengangguk) ....

(-) Yakin, Ayah..??
(+) Sangat yakin, Anakku.

(-) Maka bisakah kau beri aku sedikit waktu lebih untuk menyayangimu, menyayangi ibuku, dan mencintai dunia..??? ... (tersenyum lirih penuh harap) ...

(Sang Ayah berhenti ..... bimbang ..... penuh keraguan ..... dan masih tetap dengan penuh keraguan dibalikkannya sepeda motor itu, dan melangkah pergi menjauh dari tujuan.....)

......... 17 tahun kemudian ...........

sang Anak berkata
(-) Terima kasih, Ayah.... Tidak kau aborsikan aku waktu itu. (dipeluknya sang Ayah... Cukup sudah pembuktian, dia telah membahagiakan.....)